Sejarah Bani Umayyah | Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah


1. Sistem Sosial

Di bidang sosial, Bani Umayyah telah membuka kontak antara negara-negara Muslim (Arab) dan negara-negara taklukan yang dikenal memiliki budaya maju seperti Persia, Mesir, Eropa dan sebagainya.
Hal ini menyebabkan akulturasi budaya antara orang Arab (yang memiliki karakteristik Islam) dan tradisi negara-negara lain yang berada di bawah kekuasaan Islam (Amin, 1997: 106). Hubungan itu kemudian melahirkan kreativitas baru yang luar biasa di bidang seni bangunan (arsitektur) dan sains.

Seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik (705-715 M) kekayaan dan kemakmuran berlimpah. Dia adalah orang yang berkemauan keras dan mampu melakukan pembangunan.

Karena itu, ia menyempurnakan bangunan, pabrik, dan jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk suku-suku yang lewat di jalan. Dia membangun masjid al-Amawi yang terkenal sampai sekarang di Damaskus. Selain itu, ia menggunakan kekayaan negaranya untuk mendukung anak-anak yatim, orang-orang yang membutuhkan, dan orang-orang cacat seperti orang-orang yang lumpuh, buta, dan sebagainya.

Hasil lainnya adalah juga banyak orang dari tanah taklukan yang memeluk Islam. Mereka adalah pendatang baru dari negara-negara yang dikalahkan, yang kemudian mendapat gelar "al mawali". Status ini menggambarkan inferioritas di tengah-tengah kesombongan orang-orang Arab. Mereka tidak mendapatkan fasilitas dari penguasa Umayyah seperti yang diperoleh oleh Muslim Arab.

Dalam masa Daulah Bani Umayyah, orang-orang muslimin Arab memandang dirinya lebih mulia dari segala bangsa bukan Arab (mawali). Orang-orang Arab memandang dirinya “saiyid” (tuan) atas bangsa bukan Arab, seakan-akan mereka dijadikan Tuhan untuk memerintah. Sehingga antara bangsa Arab dengan negeri taklukannya terjadi jurang pemisah dalam hal pemberian hak-hak bernegara (Hasjmy, 1993:154).

Pada saat itu banyak Khalifah Bani Umayyah yang bergaya hidup mewah yang sama sekali berbeda dengan para Khalifah sebelumnya. Meskipun demikian,  mereka  tidak pernah melupakan orang-orang lemah, miskin dan cacat. Pada masa tersebut dibangun berbagai panti untuk menampung dan menyantuni para yatim piatu, faqir miskin dan penderita cacat. Untuk orang-orang yang terlibat dalam kegiatan humanis tersebut mereka digaji oleh pemerintah secara tetap (Yatim, 1998:139).

2.  Sistem Politik

Perubahan paling menonjol selama periode Bani Umayyah terjadi dalam sistem politik, diantaranya:

a. Politik dalam Negeri

  • Pemindahan pemerintah pusat dari Madinah ke keputusan ini didasarkan pada pertimbangan politik dan keamanan. Karena itu jauh dari Kufah, pusat Syiah (pendukung Ali), dan juga jauh dari Hijaz, tempat kediaman Bani Hasyim dan Bani Umayyah, sehingga mereka dapat menghindari konflik yang lebih tajam antara kedua anak dalam memperjuangkan kekuasaan. Lebih dari itu, Damaskus yang terletak di wilayah Syam (Suriah) adalah daerah yang berada di bawah cengkeraman Muawiyah selama 20 tahun sejak ia ditunjuk sebagai gubernur distrik ini sejak masa Khalifah Umar bin Khattab (Pulungan, 1994: 164).
  • Pembentukan lembaga yang sama sekali baru atau pengembangan dari Khalifah ar rasyidin, untuk memenuhi tuntutan perkembangan administrasi dan wilayah kenegaraan yang semakin komplek. Dalam menjalankan pemerintahannya Khalifah Bani Umayyah dibantu oleh beberapa al Kuttab (sekretaris) yang meliputi :
    • Katib ar Rasaail yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan administrasi dan surat-menyurat dengan pembesar-pembesar
    • Katib al Kharraj yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan penerimaan dan pengeluaran
    • Katib al Jund yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan hal-hal yang berkaitan dengan
    • Katib asy     Syurthahk      yaitu      sekretaris      yang     bertugas      menyelenggarakan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
    • Katib al-Qaadhi yaitu sekretaris yang bertugas menyelenggarakan tertib hukum melalui bedan-badan peradilan dan hakim setempat (Hasjmy, 1993:82).
Periode Umayyah juga membentuk berbagai departemen baru, antara lain bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan Khalifah. Organisasi Syurthahk (polisi) selama periode Umayyah disempurnakan. Awalnya organisasi ini menjadi bagian dari organisasi kehakiman, yang bertugas menjalankan perintah hakim dan putusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud.
Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Bani Abbas membentuk  empat buah “dewan” atau kantor pusat yaitu:
  • Diwanul Kharrraj,
  • Diwanul Rasaail,
  • Diwanul Musytaghilaat al-Mutanauwi’ah dan
  • Diwanul
Dewan ini sangat pnting karena tugasnya mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilir kemudian diatasnya dicap (Hasjmy, 1993:172).

Sedangkan pada bidang pelaksanaan hukum, Daulah Bani Umayyah membentuk lembaga yang bernama Nidzam al Qadai (organisasi kehakiman). Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi kedalam tiga badan yaitu:
  • Al-Qadha’, bertugas memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena  pada  waktu itu belum ada “mazhab empat” ataupun mazhab-mazhab lainnya. Pada waktu itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-kitab dan as-Sunnah dengan
  • Al-Hisbah, bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan
  • An-Nadhar fil Madhalim, yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding (Hasjmy, 1993:172).

Selain itu, Khalifah Umayyah juga menunjuk asisten sebagai teman yang sama sekali berbeda dari Khalifah sebelumnya. Mereka merekrut non-Muslim untuk menjadi pejabat di pemerintahan, seperti penasihat, administrator, dokter dan persatuan dalam militer (Pulungan, 1997: 166). Ini terjadi sejak Mu'awiyah menjabat sebagai Khalifah, yang kemudian diwarisi oleh keturunannya. Tetapi pada zaman Umar bin Abdul Azis, kebijakan itu dihapuskan, karena non-Muslim (Yahudi, Kristen, dan Ibu) yang memperoleh hak istimewa dalam pemerintahan berada pada posisi yang tidak menguntungkan kepentingan umat Islam, dan bahkan menganggap mereka rendah.

b)   Politik Luar Negeri

Politik luar negeri Bani Umayyah adalah politik ekspansi yaitu melakukan perluasan daerah kekuasaan ke negara–negara yang belum tunduk pada kerajaan Bani Umayyah.

Pada masa Khalifah ar-Rashidin wilayah Islam sangat luas, tetapi ekspansi belum mencapai batas permanen, karena di sana-sini selalu ada konflik dan kontak kontak di daerah perbatasan. Daerah-daerah yang telah diperintah oleh Islam masih menjadi sasaran penggerebekan oleh pihak-pihak di luar Islam, dari belakang garis pertempuran. Bahkan musuh di luar wilayah Islam telah berhasil merebut beberapa wilayah kekuasaan Islam ketika ada perpecahan dan pemberontakan domestik umat Islam (Syalaby, 1971: 139).

Berdasarkan situasi ini, ada pertempuran antara Bani Umayyah dan negara-negara tetangga yang ditaklukkan selama kekhalifahan rashidin. Di timur, Muawiyah dapat mengendalikan Khurasan ke sungai Oxus dan Afghanistan ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke arah timur yang dilakukan oleh Muawiyah dilanjutkan oleh Khalifah Abdul Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menaklukkan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Pasukannya tiba di India dan dapat mengendalikan Balukhistan, Sind dan wilayah Punjab ke Maltan (Nasution, 1985: 61).

Ekspansi ke Barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid bin Abdul Malik. Pada masa pemerintahannya tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Marokka dapat ditaklukkan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota  Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya  Kordova  (Hasan,  1967:91). Pada saat itu, pasukan Islam menang dengan mudah karena mereka mendapat dukungan dari rakyat setempat yang telah lama menderita kekejaman penguasa.

Pada zaman Umar bin Abdul Aziz, serangan dilakukan di Perancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh Abdurahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Dia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana dia menyerang Tours. Namun dalam perang di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan pasukannya mundur kembali ke Spanyol. Selain daerah-daerah ini, pulau-pulau di Laut Mediterania juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Umayyah.

Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur dan Barat, periode Umayyah Islam sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Suriah, Palestina, Semenanjung Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afghanistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbekistan, dan Kyrgyzstan di Asia Tengah (Nasution, 1985: 62).

Dengan demikian, ekspansi yang dilakukan oleh umat Islam selama periode Umayyah hanyalah tindakan pertahanan (defensif) dan jihad untuk menyiarkan agama Islam, terutama terhadap para penganut kepercayaan syirik, yang mencegah kedatangan ajaran Islam ke dalam hati orang-orang yang sudah lama menunggunya.

Perluasan yang dilakukan pada masa Bani Umayyah meliputi tiga front penting, yaitu daerah-daerah yang telah dicapai dan gerakan Islam terhenti sampai di situ, ketika masa Khalifah Ustman bin Affan. Ketiga front itu sebagai berikut :
  • Front pertempuran melawan bangsa Romawi di Asia Kecil. Dimasa pemerintahan Bani Umayyah, pertempuran di front ini telah meluas, sampai meliputi pengepungan terhadap kota Konstantinopel, dan penyerangan terhadap beberapa pulau di laut tengah.
  • Front Afrika Utara. Front ini meluas sampai ke pantai Atlantik, kemudian menyeberangi selat Jabal Thariq dan sampai ke Spanyol.
  • Front Timur. Ini meluas dan terbagi kepada dua cabang, yang satu  menuju ke  utara, ke daerah-daerah diseberang sungai Jihun (Amru Dariyah). Dan cabang yang kedua menuju ke Selatan, meliputi daerah Sind, wilayah India di bagian Barat (Mufrodi, 1997:80).

3.  Sistem Ekonomi

Pada zaman Umayyah ekonomi mengalami kemajuan luar biasa. Dengan wilayah penaklukan yang begitu luas, memungkinkannya untuk mengeksploitasi potensi ekonomi tanah yang ditaklukkan. Mereka juga dapat mengangkut sejumlah besar budak ke Dunia Islam. Penggunaan tenaga kerja ini membuat orang-orang Arab hidup dari tanah taklukan dan menjadikannya kelas penagihan pajak dan pada saat yang sama memungkinkannya untuk mengeksploitasi negara-negara ini, seperti Mesir, Suriah, dan Irak (Bosworth, 1993: 26).

Tetapi bukan hanya eksplotasi yang bersifat menguras saja yang dilakukan oleh Bani umayyah, tetapi ada juga usaha untuk memakmurkan negeri taklukannya. Hal ini terlihat dari kebijakan Gubernur Irak yang saat itu dijabat oleh al-Hajjaj bin Yusuf. Dia berhasil memperbaiki saluran-saluran air sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran timbang, takaran dan keuangan (Mufradi, 1997:76).

Jadi sumber ekonomi dari periode Umayyah Daula berasal dari potensi ekonomi negara-negara yang ditaklukkan dan sejumlah budak dari negara-negara taklukan yang diangkut ke Dunia Islam.

Tetapi kebijakan yang paling strategis pada masa Daula Bani Ummayah adalah adanya sistem pemerataan keuangan. Ini terjadi selama Khalifah Abdul Malik. Dia mengubah mata uang asing Bizantium dan Persia yang digunakan di daerah-daerah yang dikendalikan oleh Islam. Karena alasan ini, ia mencetak uangnya sendiri pada tahun 659 M dengan menggunakan kata-kata dan tulisan Arab. Mata uang terbuat dari emas dan perak sebagai simbol kesamaan kerajaan ini dengan kerajaan sebelumnya (Yatim, 2003: 44).


0 Response to "Sejarah Bani Umayyah | Sistem Sosial, Politik dan Ekonomi Daulah "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel