Konflik Indonesia - Belanda | Faktor, Penyelasaian, Pengaruh, dan Aktivitas diplomasi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia


Usaha Perjuangan Mempertahankan Kemeredekaan Indonesia

Kemerdekaan adalah salah satu hal yang paling bersejarah, yang dialami oleh bangsa Indonesia sendiri.

Di masa penjajahan berbeda dengan perbedaan konflik sosial dengan masalah sosial, perjuangan bangsa Indonesia tentunya tidaklah sia- sia dimana banyak sekali korban mulai dari anak- anak hingga lansia.
Tidak hanya itu saja, bahkan banyak sekali pahlawan dan jenderal pun mati bahkan presiden pertama pun seringkali keluar masuk penjara demi memperjuangkan nasib bangsa ini.

Pada masa itu bisa dibilang merupakan masa sangat sulit dimana awalnya para penjajah hanya berniat untuk berdagang hingga akhirnya mengambil sebagian besar rempah- rempah di wilayah timur Indonesia dan berakhir pada menjajah. 

Semua ini tentu didasari oleh kerakusan mereka dalam hal memperoleh kekayaan. Tentunya selama masa penjajahan, banyak sekali penindasan terjadi kepada orang- orang pribumi.

Dalam berbagai macam proyek mulai dari pembangunan hingga pertanian semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan fisik akan dikerjakan oleh orang Indonesia. 

Tidak hanya itu saja anda juga bisa melihat peran sosiologi dalam pemecahan masalah sosial, bahkan tak jarang juga mereka bekerja diladang sendiri namun hasil panennya tidak bisa mereka nikmati sendiri. 

Selain itu banyak juga orang Indonesia bekerja secara paksa tanpa diberi upah dengan jam kerja sangat panjang.


A. Faktor-faktor yang Menyebabkan Konflik Antara Indonesia dan Belanda

Perjuangan rakyat Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan semakin nyata hasilnya. Tantangan yang dihadapi selalu silih berganti, kita ketahui bahwa Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang Dasar (UUD 1945) dan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Moh. Hatta sebgai wakil Presiden

1. Kedatangan Tentara Sekutu Diboncengi oleh NICA


Semenjak Jepang menyerah kepada sekutu pada tangga; 14 Agustus 1945 . Pada tanggal 10 November Panglima Bala Tentara Jepang di Jawa mengumumkan pemerintahan sksn diserahkan kepada Sekutu. Pada 14 September 1945, Mayor Greenhalgh tiba di Jakarta untuk mempelajari dan melaporkan situasi Indonesia sebelum pendaratan pendaratan Sekutu.

Pada tanggal 29 September 1945 pasukan Sekutu mendarat di Indonesia yang bertugas untuk melucuti tentara jepang. 


Tugas ini dilakukan oleh Komando Pertahanan Sekutu di Asia Tenggara yang disebut South East Asia Command (SEAC) di bawah kepemimpinan Lord Louis Mountbatten yang berbasis di Singapura. Mountbatten membentuk sebuah Komando khusus yang diberi nama dengan Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) di bawah kepemimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison.

Tugas AFNEI di Indonesia :

1) Menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang
2) Membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu
3) Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk dikirim pulangkan
4) Menegakkan, mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil
5) Menghimpun keterangan dan menuntut penjahat perang

Pasukan AFNEI mendarat di Jakarta tanggal 29 september 1945 yang terdiri dari 3 divisi yaitu :

1) Divisi India ke 23, di bawah pimpinan Mayor Jendral D.C Hawthorn yang bertugas di Jawa Barat

2) Divisi India ke 5 di bawah pimpinan Mayor jendral E.C Marsegh yang bertugas di Jawa Timur

3) Divisi India ke 26 di bawah pimpinan Mayor Jendral H.M Chambers yang bertugas di Sumatra

Pasukan AFNEI hanya bertugas di Sumatra dan jawa sedangkan di daerah Indonesia yang lain di serahkan kepada Australia

2. Kedatangan Belanda (NICA) Berupaya Membangun Kembali Kekuasaan di Indonesia


NICA berusaha mempersenjatai kembali KNIL (Koninklijk Nerdelands Indisch Lager) . Tentara Belanda yang ditempatkan di Indonesia , orang-orang NICA dan KNIL di Jakarta, Surabaya dan Bandung mengadakan kerusuhan sehingga memancing kerusuhan.

Christison menyadari untuk kelancaran tugasnya diperlukan bantuan Pemerintahan Republik Indonesia. Christison mengakui Pemerintahan De Facto Republic Indonesia tanggal 1 oktober 1945, ia tidak akan mencampuri urusan kenegaraan Indonesia.

B. Peran Dunia Internasional dalam Penyelesaian Konflik Indonesia Belanda

1. Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa


Pada tanggal 25 maret 1947 Indonesia dan Belanda mendetangani persetujuan Linggajati . Pada tanggal 21 juli 1947 kota-kota di Sumatra maupun Jawa di gempur dengan pasukan bersenjata. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota V1-CLA yang membawa obat-obatan dari Singapura sambangan dari Palang Merah Malaysia ke Indonesia ditembak oleh belanda di langit Yogyakarta.

Pada tanggal 31 juli 1947 India dan Autralia mengajukkan masalah Indonesia- Belanda ke dawan keamanan PBB. Kofrensi Asia menghasilkan resolusi yang disampaikan kepada DK PBB yang isinya antara lain penarikkan tentara Belanda dari seluruh Indonesia.

2. Peranan Konfrensi Asia Dan Resolusi Dewan Keamanan PBB


Kofrensi Asia tersebut menghasilkan resolusi yang disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, isi resolusinya
1) Pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta
2) Pembentukkan perintah ad interin yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negri,sebelum tanggal 15 maret 1949
3) Penarikkan tentara Belanda dari seluruh wilayah Indonesia
4) Penyerahan kedaulatan kepada pemerintahan Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 januari 1950

C. Dampak Konflik Indonesia-Belanda Terhadap Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia

1. Keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia Pada Waktu Agresi Militer Belanda Pertama Dan Kedua



a. Pada Agresi Militer Belanda 1 (21 juli 1947) Belanda berhasil menduduki beberapa daerah kekuasaan RI.


b. Pada Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) pimpinan Ri ditawan Belanda dan ibu kota RI Yogyakarta jatuh akan tetapi RI tetap ada karena dibentuk PDRI di Bukittinggi do bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara

D. Kegiatan Diplomasi Indonesia Di Dunia Internasional Untuk Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia

1. Pertemuan Soekarno-Van Mook


Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Sobardjo,dan H Agus Salim sedangkan daari pihak Belanda diwakili oleh Van Mook dan Van Der Plas. Pertemuan Ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih

2. Pertemuan Sjahrir-Van Mook


Pertemuan ini diadakan pada 17 November 1945 di markas tentara Inggris di Jakarta. Pertemuan ini diwakili oleh Letnan Jenderal Christison dari pihak sekutu, pihak Belanda yang diwakili oleh Dr. H. Van Mook

3. Perundingan Sjahrir-Van Mook


Pada tanggal 10 Febuari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai.Pernyataan politik Belanda antara lain:
1) Indonesia akan dijadikan Negara Commounwealth berbentuk Federasi
2) Urusan dalam negri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negri oleh pemerintahan Belanda

Pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampakai usul  antara lain sebagai berikut :
1) Republik Indonesia harus diakui Negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda
2) Federasi antara Indonesia-Belanda akan dilaksanakan di-masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan akan diserahkan pada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.

Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjhrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain
1) Supaya pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan de facto Ri atas jawa dan Sumatra
2) Supaya RI dan Belanda bekerjha sama membentuk Republik Indoneisa Serikat (RIS)
3) RIS bersama dengan Nederland, Suriname, Curacao menjadi peserta dalam ikatan Negara Belanda

4. Perundingan di Hooge Veluwe 


Perundingan ini diadakan  tanggal 14-25 April 1946 yang bertempat di Hooge Veluwe (Negeri Belanda). Para degelasi perundingan ini antara lain

a. Suwandi , dr. Sudarsono, dan Mr. A.k Pringgodigdo yang mewakili pemerintahan RI


b. Van Moook , Prof. Logemann, Dr Idenburgh, Dr Van Royen , Prof Van Asbeck

c. Sir Archibald Clack Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah

5. Perundingan Linggajati


Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, sebagai contoh kejadian 10 November, selain pemerintah Inggris yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, Sir Archibald Clark Kerr, seorang diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk bernegosiasi di Hooge Veluwe, tetapi negosiasi gagal karena Indonesia meminta Belanda untuk mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatra dan Madura, tetapi Belanda hanya ingin mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirim Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan negosiasi antara Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946, negosiasi Indonesia-Belanda berlangsung di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta, yang dipimpin oleh Lord Killearn. Negosiasi ini menghasilkan perjanjian gencatan senjata (14 Oktober) dan membuka jalan untuk negosiasi di Linggarjati yang dimulai pada 11 November 1946.

Dalam negosiasi ini, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Umum dan dipimpin oleh Schermerhorn dengan anggota H. van Mook, dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam negosiasi ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

a. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.

b. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.

c. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.

d Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.


Perjanjian Linggarjati menjadi pro dan kontra rakyat Indonesia, misalnya, beberapa pihak seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata.

Para pihak menyatakan bahwa perjanjian tersebut merupakan bukti kelemahan pemerintah Indonesia dalam membela kedaulatan negara Indonesia. 


Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, yang bertujuan untuk menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat sehingga pemerintah mendapat suara untuk mendukung negosiasi linggarjati.

6. Perundingan Renville


Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia

Isi perjanjian
a. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia
b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda
c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Pasca perjanjian

Sebagai hasil dari Perjanjian Renville ini, Partai Republik harus mengosongkan wilayah yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi pindah ke Jawa Tengah. Divisi ini menerima julukan Angkatan Darat Hijrah oleh orang-orang Kota Yogyakarta yang menyambut mereka.

Tidak semua pejuang Republik yang menjadi anggota laskar, seperti Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah / Sabillilah berada di bawah kepemimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, mematuhi hasil Perjanjian Renville. Mereka terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda.


Setelah Soekarno dan Hatta ditangkap di Yogyakarta, S.M. Kartosuwiryo, yang menolak posisi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, menganggap Negara Indonesia Dikalahkan dan Dibubarkan, kemudian ia mendirikan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI / TII). Sampai 7 Agustus 1949, di daerah yang masih dikuasai Belanda pada waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).

7. Perundingan Rem-Royen


Pada 7 Mei 1947, MR Moh Roem sebagai ketua delegasi Indonesia dan Dr. Van Royen sebagai kepala delegasi Belanda masing-masing membuat pernyataan berikut:

a. Pernyataan Mr. Moh Roem

1) Mengeluarkan perintah kepada “Pengikut Republik yang bersenjata “ untuk menghentikan perang gerilya

2) Bekerja sama dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan kedamaian

3) Berpartisipasi dalam konferensi meja bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat "penyerahan" kedaulatan yang asli dan lengkap kepada Negara Amerika Serikat tanpa syarat

b. Pernyataan Dr. Van Royem

1) Menyetujui kembali Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta

2) Menjamin penghentian gerakkan-gerakkan militer dan pembebasan semua tahanan politik

3) Tidak akan mendirikan / mengakui negara-negara di wilayah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1948 dan tidak akan memperluas Negara atau wilayah yang merugikan Republik

4) Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Indonesia Serikat

5) Berusaha dengan sungguh-sungguh agar koferensi Meja Bundar segera diadakan setelah Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta

 

D. Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Dampaknya


Setelah bangsa Indonesia berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri di Konferensi Inter-Indonesia, bangsa Indonesia secara keseluruhan menghadapi Konferensi Meja Bundar, sementara pada bulan Agustus 1949, Presiden Soekamo sebagai Panglima Tertinggi di satu sisi dan Wakil Mahkota Tinggi Belanda. mengumumkan perintah untuk Penghentian Tembak menembak.

Perintah itu beriaku mulai tanggal 11 Agustus 1949 untuk Jawa dan 15 Agustus 1949 untuk Sumatra. Pada tanggal 11 Agustus 1949, dibentuk delegasi Republik Endonesia untuk menghadapi Konferensi Meja Bundar.

Delegasi itu terdiri dari Drs. Hatta (ketua), Nir. Moh. Roem, Prof Dr. Mr. Supomo, Dr. J. Leitnena„ Mr. Ali Sastroamicijojo, Ir. Djuanda, Dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang dan Mr. Muwardi. yang memimpin Delegasi ini adalah Sultan Hamid II dari Pontianak. Konferensi ini berlangsung pada tanggal  23 Agustus 1949 KMB dimulai di Den Haag, Belanda hingga tanggal 2 November 1949 dengan hasil sebagai berikut.

1. Belanda mengakui Republik Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. 

2. Status Karesidenan Irian Barat diselesaikan dalam waktu setahun, sesudah pengakuan kedaulatan. 

3. Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja sama sukarela dan sederajat. 

4. Republik Indonesia Serikat mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak-hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda. 

5. Republik indonesia Serikat harus membayar semua utang Belanda yang ada sejak tahun 1942.

0 Response to "Konflik Indonesia - Belanda | Faktor, Penyelasaian, Pengaruh, dan Aktivitas diplomasi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel