Sejarah Kerajaan Mataram | Asal mula, Letak Geografis ,Politik, Sosial Budaya dan Ekonomi


Kesultanan Mataram (Kesultanan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram Baru untuk membedakan dari Kerajaan Mataram Kuno yang memiliki corak Hindu) adalah sebuah kerajaan Islam yang didirikan pada abad ke-17 di pulau Jawa.
Kerajaan ini dipimpin oleh dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pamanahan, yang mengaku sebagai cabang bangsawan garis penguasa Majapahit.

Asal-usulnya adalah Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat pada "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Panahan Ki Ageng sebagai hadiah atas jasanya.

Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra dari Ki Ageng Pemanahan adalah Raja berdaulat pertama.

Pada masa keemasannya, Kerajaan Mataram pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura. 

Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.

Mataram merupakan kerajaan yang berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. 

Kesultanan Mataram meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman di Batavia/Jakarta, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.

A. Letak Geografis



B. Kehidupan Politik

Sutowijoyo mengangkat dirinya sendiri sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati (1586-1601) dengan ibu kota kerajaan di Kota Gede. 

Tindakan yang diambil setelahnya adalah meletakkan dasar Kerajaan Mataram dan memperluas wilayahnya ke daerah timur, seperti Surabaya, Madiun dan Ponorogo, dan ke barat untuk menundukkan Cirebon dan Galuh.

Pengganti Panembahan Senopati adalah Mas Jolang. Dia meninggal di daerah Krapyak dalam upaya memperluas daerah itu, sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. 

Raja terbesar Kerajaan Mataram adalah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). 

Sultan bercita-cita: (1) menyatukan seluruh Jawa di bawah pemerintahan Mataram dan  (2) mengeluarkan VOC dari Batavia. Pemerintahan Sultan Agung selama 32 tahun dibagi menjadi dua periode, yaitu periode penyatuan negara dan periode pembangunan. 

Periode penyatuan negara (1613-1629) adalah periode perang untuk mewujudkan cita-cita menyatukan seluruh Jawa. Sultan Agung menaklukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan dan Tuban, kemudian Lasem, Pamekasan, dan Sumenep.

Dengan demikian semua orang Jawa tunduk pada Mataram, dan kekuatan di luar Jawa meluas ke Palembang, Sukadana (Kalimantan), dan Goa. Setelah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon ditangkap, Sultan Agung berencana untuk menyerang Batavia. Serangan pertama diluncurkan pada Agustus 1628 di bawah kepemimpinan Bupati Baurekso dari Kendal dan Dipati Ukur dari Sumedang.

Batavia dikepung dari darat dan laut selama 2 bulan, tetapi tidak mau menyerah dan sebaliknya akhirnya tentara Mataram diusir. 

Bersiap untuk serangan kedua dan bersiap lebih hati-hati dengan membuat pusat pasokan makanan di Tegal, Cirebon dan Krawang dan disiapkan oleh angkatan laut.

Serangan kedua diluncurkan pada bulan September 1629 di bawah kepemimpinan Sura Agul-Agul, Mandurarejo dan Uposonto. 

Namun, tampaknya VOC mengetahui rencana itu terlebih dahulu, sehingga VOC membakar dan menghancurkan gudang persediaan.

Serangan ke Batavia gagal, yang dikarenakan kurangnya persediaan makanan, hilangnya senjata, jarak dari Mataram ke Jakarta yang sangat jauh, dan tentara Mataram terjangkit wabah penyakit.

Setelah Sultan Agung wafat, penetrasi politik VOC di Mataram semakin kuat. Sebagai hasil dari intervensi VOC dan adanya perang saudara dalam memperebutkan tahta pemerintahan, kerajaan Mataram lemah dan akhirnya terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.

Perseturuan antara Paku Buwono II, yang dibantu oleh Perusahaan dan Pangeran Mangkubumi, berakhir dengan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755, yang berisi Mataram dibagi menjadi dua, yaitu:
  1. Mataram Barat yakni KesultananYogakarta, diberikan kepada Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.
  2. Mataram Timur yaitu Kasunanan Surakarta diberikan kepada Paku Buwono III.


Selanjutnya untuk memadamkan perlawanan Raden Mas Said diadakan Perjanjian Salatiga, tanggal 17 Maret 1757, yang isinya Surakarta dibagi menjadi dua, yakni:
  1. Surakarta Utara diberikan kepada Mas Said dengan gelar Mangkunegoro I, kerajaannya disebut Mangkunegaran.
  2. Surakarta Selatan diberikan kepada kerajaan PakuBuwono III yang disebut Kesultanan Surakarta.


Pada tahun 1813 sebagian daerah Kesultanan Yogyakarta diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati. Dengan demikian kerajaan Mataram yang satu, kuat dan kokoh pada masa pemerintahan Sultan Agung akhirnya terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, yakni:
  1. Kerajaan Yogyakarta
  2. Kasunanan Surakarta
  3. Pakualaman
  4. Mangkunegaran

B. Kehidupan Ekonomi

Letak geografisnya di pedalaman dan didukung dengan lahan yang subur, menjadikan kerajaan Mataram sebagai daerah pertanian (agraria) yang cukup berkembang, bahkan menjadi daerah pengekspor beras terbesar kala itu.

Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas perdagangan laut. Hal ini dapat terlihat dari dikuasainya daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai Utara Jawa. Perpaduan dua unsur ekonomi, yaitu agraris dan maritim mampu menjadikan kerajaan Mataram kuat dalam percaturan politik di nusantara.

C. Kehidupan Sosial-budaya

Selama masa pertumbuhan dan terkait dengan masa konstruksi, Sultan Agung melakukan upaya untuk meningkatkan sawah dan memindahkan banyak petani ke daerah Krawang yang subur. Atas dasar kehidupan agraris itulah masyarakat feodal disusun.

Pejabat pemerintah diberi penghargaan dalam bentuk tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar bagi munculnya tuan tanah di Jawa.

Selama masa kejayaan Mataram, budaya juga berkembang termasuk tarian, patung, seni sastra dan sebagainya. 

Selain itu, munculnya Budaya Kejawen adalah akulturasi antara budaya asli, Hindu, Budha dan Islam.

Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga muncul Grebeg Syawal pada hari raya idul Fitri. 

Grebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh Samsiah) dan sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh Kamariah). Tahun Hindu 1555 berlanjut dengan perhitungan baru dan dikenal sebagai Tahun Jawa.

Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga Kesusastraan Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang Kitab Sastra Gending yang berupa kitab filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.

0 Response to "Sejarah Kerajaan Mataram | Asal mula, Letak Geografis ,Politik, Sosial Budaya dan Ekonomi "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel